Langsung ke konten utama

Kolonialisme Primitif

Kolonialisme Primitif.
Ditulis oleh: Made Supriatma.

Papua tidak pernah ikut dalam arus nasionalisme Indonesia. Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Papua tidak ada disana. Ketika para elit Indonesia, dengan arahan dan bimbingan dari Jepang, mempersiapkan kemerdekaannya pun Papua tidak ada disana.

Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) memang membahas batas-batas wilayah calon negara Indonesia. Dimanakah wilayah negara yang nantinya disebut Indonesia itu?

Dalam episode sejarah yang tidak pernah diajarkan kepada generasi tua dan muda Indonesia ini berlangsung perdebatan hangat antara Muhamad Yamin, Sukarno, dan Muhammad Hatta.

Sukarno mengatakan bawah Indonesia adalah semua wilayah kepulauan antara dua benua dan dua samudra. Tentu maksudnya wilayah kepulauan yang terletak antara Asia dan Australia; dan Samudra Hindia dan Pasifik.

Yamin adalah yang paling ambisius. Dia mengatakan bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah kekuasaan Majapahit -- dari semenanjung Malaya hingga ke Papua. Papua harus masuk ke wilayah Indonesia untuk menghormati perjuangan para 'nasionalis' (kebanyakan yang dibuang kesana adalah kaum Komunis yang memberontak pada tahun 1926) yang dibuang ke Boven Digul, dekat Merauke, di Papua. Yamin mengusulkan wilayah Indonesia termasuk Kalimantan Utara, Semenanjung Malaya, Timor Portugis dan Papua.

Sementara Hatta, satu-satunya diantara ketiganya yang pernah sebentar dibuang ke Digul, lebih berhati-hati. Hatta tidak setuju dengan Yamin. Untuk Hatta, Papua adalah sebuah bangsa tersendiri.

Saya mendapati kutipan pendapat Hatta dari makalah Dr. Richard Chauvel. Hatta mengakui bahwa Papua adalah bangsa Melanesia. Oleh karena itu, dia mempertanyakan, jika orang Melanesia dimasukkan ke dalam Indonesia, bagaimana dengan orang Melanesia lainnya? Akankah wilayah Indonesia sampa ke Kepulauan Salomon? Apakah kita mampu mengelola wialyah yang sedemikian luas? Apakah kita tidak akan menjadi negara yang imperialistik?

Hatta melanjutkan, "Saya hanya ingin mengatakan bahwa kita tidak usah khawatir akan Papua, kita serahkan kepada orang Papua saja. Saya mengakui bahwa orang Papua juga punya hak untuk menjadi orang merdeka, tapi orang Indonesia untuk beberapa waktu, untuk beberapa dekade ke depan, tidak punya kemampuan dan kekayaan untuk mengajari orang-orang Papua sehingga mereka menjadi manusia merdeka." (Catatan: Naskah risalah sidang BPUPKI tidak ada pada saya saat ini. Saya memakai versi Dr. Chauvel).

Suara Hatta adalah suara minoritas. Mereka yang berkumpul di BPUPKI lebih menerima idenya Yamin dan Sukarno tentang Indonesia Raya -- 39 dari 66 anggota BPUPKI mendukung. Wilayah Indonesia adalah bekas  wilayah negara Hindia Belanda, bekas penjajahnya.

Namun kita tahu, sesudah Konperensi Meja Bundar, Papua tetap dibawah Belanda. Baru pada tahun 1962, Presiden Kennedy, karena takut Indonesia jatuh ke tangan Komunis, memfasilitasi perundingan yang menghasilkan New York Agreement. Disana ditetapkan bahwa untuk sementara Indonesia akan mengurus Papua secara administratif. Kemudian akan ada Penentuan Pendapat Rakyat untuk menentukan apakah Papua akan menjadi negara merdeka atau bergabung dengan Indonesia.

Sesudah PD II, Belanda mulai mengadakan sistem pendidikan di Papua. Belanda juga mulai menciptakan elit-elit Papua. Ide awalnya, wilayah ini akan dipakai untuk menampung orang-orang Indo-Eurasian (peranakan Belanda dan pribumi) yang tidak mau pindah ke Nederland. Kebijakan yang sama mereka lakukan di Afrika Selatan.

Dari sinilah sesungguhnya nasionalsme Papua terbangun. Persis seperti nasionalisme Indonesia. Ia mula dari golongan terdidik.

Perpindahan administrasi ke Indonesia membawa  akibat buruk bagi orang Papua. Indonesia sesungguhnya tidak mampu mengelolanya. Ekonomi Indonesia mulai morat-marit pada tahun 1960an. Tentara yang dikirim kesana, karena kesulitan ekonomi di negaranya sendiri, menjadi penjarah. Mereka mengangkuti apa saja yang bisa diangkut.

Memoar Jusuf Wanandi, "Shades of Grey" menceritakan itu semua. Bahkan kabel telpon pun diangkut, diambl tembaganya untuk dijual. Wanandi kesana pada tahun 1967 dan mendapati kelaparan hebat. "Tidak heran kalau orang Papua amat membenci kita," demikian tulisnya. Dia meminta dana untuk mengimpor bahan makanan ke Papua. Suharto menyuruhnya untuk mengambil US$17 juta dari dana yang dia simpan di sebuah bank di Singapore.

Penentuan Pendapat Rakyat dilakukan pada tahun 1969. Hanya 1025 orang yang 'dipilih' untuk mengikuti Pepera ini. Pemerintah Orde Baru berkilah, dan diamini oleh PBB yang sudah lelah dengan masalah ini, bahwa 'musyawarah dan mufakat' lebih diutamakan ketimbang sebuah referendum langsung. Kita tahu, mekanisme yang sama menghasilkan Suharto yang memerintah selama 32 tahun. Pepera dilakukan lewat tipu daya dan todongan senjata.

Karena proses yang penuh dengan kecurangan dan tipu daya ini, tidak terlalu mengherankan bila persoalan Papua tidak akan pernah selesai. Ia berbiak. Generasi yang lebih baru tidak akan pernah lupa apa yang dialami oleh orang tua mereka di jaman operasi militer yang dilakukan oleh Orde Baru. Pembunuhan-pembunuhan dan kekerasan itu memang bisa ditutupi dari sebagian besar rakyat Indonesia. Namun tidak bisa hilang dari ingatan orang Papua.

Bangsa Papua adalah bangsa paling malang di dunia ini. Terlalu sering mereka dianggap sebagai bangsa 'primitif.' Mereka dianggap tidak cakap mengurus diri sendiri. Mereka tidak pernah diajak bicara mengenai nasib mereka sendiri. Semuanya ditentukan oleh pihak luar.

New York Agreement pada 1962 ditentukan oleh Indonesia, Amerika, dan Belanda. Pepera 1969 hanya diikuti 1025 orang (tidak semuanya orang Papua asli) dengan manipulasi, intimidasi, dan ancaman senjata.

Imajinasi orang Indonesia terhadap Papua pun mewarisi imajinasi Yamin dan Sukarno yang imperialistik itu. Imajinasinya adalah imajinasi wilayah, bukan imajinasi tentang rasa persaudaraan sesama bangsa.

Orang Indonesia selalu merasa bahwa kekayaan alam mereka di Papua dirampas oleh pihak asing. Orang Indonesia mau kekayaannya. Tetapi tidak mau dengan manusianya.  Orang Indonesia tidak pernah peduli dengan nasib orang Papua.

Ketika orang Papua menyatakan keinginannya menentukan nasib sendiri, selalu saja muncul argumen: jika Papua merdeka, kekayaan mereka akan diambil Amerika, Australia atau orang-orang asing. Argumen seperti ini muncul karena perasaan yang mengklaim diri lebih superior. Orang Papua tidak mampu mengelola dirinya sendiri.

Memang, orang Indonesia merasa bahwa kebudayaan mereka jauh lebih superior dari orang Papua. Tidak terlalu sulit untuk mendapati hal ini dalam hidup sehari-hari. Di beberapa daerah di Indonesia dijumpai larangan untuk menerima kos orang Papua karena mereka dianggap sebagai pemabuk dan pembuat onar. Orang Indonesia tidak apa-apa kalau mabuk. Tetapi orang Papua? Tidak boleh. Pandangan merendahkan ini berlangsung di semua lini.

Kini, ketika pemerintah Indonesia menggembar-gemborkan pembangunan infrastruktur di Papua. Itu semua untuk konsumsi publik di Indonesia. Tidak pernah terdengar suara langsung dari Papua. Tanyakanlah kepada orang Papua, mengapa Anda tidak berterima kasih untuk semua infrastruktur yang Anda dapat? Jawabnya seringkali,  "Itu untuk kitong kapa? Itu dong pu jalan tho?"

Kalau ada konstruksi teoritik yang bisa dipakai untuk memahami masalah Papua, maka saya akan mengatakan bahwa inilah satu kasus dari "Kolonialisme Primitif" yang sudah amat jarang dijumpai di dunia ini. Kolonialisme jenis ini adalah kolonialisme penjarahan.

Tujuan hadirnya aparat kolonial disana adalah untuk melakukan penjarahan. Dan, semua yang dibangun disana pun untuk tujuan memudahkan penjarahan. Aparat-aparat kolonial -- sama seperti pada waktu masa kolonial Belanda -- membutuhkan kerjasama dari para komprador -- orang-orang Papua yang mau bekerjasama. Sama seperti di jaman kolonialisme Belanda, tugas aparat Indonesia adalah mengawasi para komprador ini.

Ironisnya adalah ditengah-tengah konstruksi primirtif yang diterapkan terhadap orang Papua, justru yang sangat primitif adalah kolonialisme di Papua.

Kita belum bicara soal bendera. Di Papua, resikonya untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora adalah kematian. Besok, tanggal 2 Desember, kita akan melihat orang-orang Indonesia mengibarkan bendera yang bukan bendera negara ini. Kita akan melihat betapa tolerannya aparat negara ini kepada mereka. Mengapa boleh?

Tidak salah kalau orang Papua merasa kami bukan orang Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebebasan Akan Kami Rahi

Kebebasan Akan Kami Rahi Oleh: Bob Muno Meno. Tengah Rimbah belantara. Kejora berkibar yang indah, kami rakyat papua tahu bahwa itu Tentara pembebasan nasional papua barat, organisasi papua merdeka yang sedang mengibarkannya. Mereka adalah tentara revolusi. Revolusi untuk West papua agar penjajahan di muka bumi dapat di hapuskan. Pastinya pagi ini mereka sedang siap dan siaga untuk lanjut kotak sejata untuk mengusir penjajah di west papua. Lihat Tenggah rimbah belantara west papua, suara suara unggas bernyanyi menggah bersama Fajar berdiri kokoh tanpa ada keraguan degan kata "biar posko di bongkar pasti papua merdeka". Terserah di luar sana mau bilang apa? Ahhkk yang harus kalian tahu, Papua itu harga mati, kemerdekaan akan kami berjuang sampai mati. Tetapi yang perlu di ingat bahwa  kami sedang bejuang untuk revolusi, meminta kebebasan dan keadilan harus hadir yang adil di muka bumi. Rakyat papua adalah rakyat kami dan kami adalah penjaga rimbahnya yaitu militer wes...

Hutan adalah Tempat Keselamatan Pertama Bagi Pengungsi

Hutan  adalah Tempat Keselamatan Pertama Bagi Pengungsi Saya merasa sedih, ketika mendengar keluarga saya yang sedang dalam pengungsian, karena  serangan Manusia Berkekuatan Besi di Ndugama Papua, saya pernah mengalami bagaimana  orang mengungsi dari kampung halaman yang tak bisa ditinggalkan entah itu lahan, ternak, dusun dan juga lebih parah lagi Se-keluarga tidak baku dapat saat berlari mencari keselamtan di Hutan rimba. Mendengar dan merenungkan Bagaiman rasanya orang yang berlarian dihutan-hutan, karena ketakutan serangan manusia yang  tidak mereka kenal menggunakan tangan besi, melerikan diri di Hutan-hutan Tanpa persiapan bekal, sanak saudara, yang ada hanya terasa saakit dan cucuran air mata. Jalan satu-satunya keselamatan utama adalah bersembunyi dihuta rimbah, Tak ada suara sanak saudara  yang terdengar,  yang ada hanya suara burug dan tembakan bertubi-tubi juga asap dan terdengar tangisan ternak Babi.  Saat itu Tembakan  bunyi senjata y...

Marta kawin Dengan DPRD Baru

"MARTA KAWIN DENGAN DPRD BARU" Nona manis namanya Marta,asal kampung kecil yang menempel di gunung Deiyai,Obayo kabupaten Dogiyai Papua.sejak Marta masih kecil di usia 5thun kedua orang tuanya meninggal dibunuh oleh tentara di salah satu kota sementara tentara melakukan operasi militer terhadap dugaan perampokan peluruh senjata api dimarkas oleh OTK(orang tidak dikenal).Marta dibesarkan oleh keluarga dari mamanya,adik perempuan dari mama. Marta menjadi anak remaja yang baik dalam keadaan yang teraumatik.Marta anak yang pintar dan kuat bekerja dirumah maupun disekolah saat hari kerja.Marta sudah berumur 20thun dan Marta baru saja menyelesaikan pendidikan SMA(sekolah menenggah atas)di Monemani ibu kotanya Kabupaten Dogiyai.Marta anak desa yang secara alamiah rajing bekerja keras dan pula cantik karakternya dan pula fisiknya. Marta akan melanjutkan kuliah diluar daerah tapi tidak punya uang.orang tua Marta sudah meninggal dibunuh.Dia dibesarkan di keluarga yang se...